PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU

Identifikasi Masalah dan Pertimbangan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 
Sebagaimana banyak dirilis oleh media massa dan berbagai sumber terkait berbagai masalah dan pertimbangan partisipasi masyarakat pemilih dalam keikutsertaannya di Pemilihan Umum, dapat saya sampaikan identifikasi berupa point-point penting yang dapat menjadi pertimbangan dan dasar dalam menentukan strategi pemenangan pemilu, antara lain:
  • Menang dalam setiap pertarungan di pemilu merupakan sebuah harapan besar yang pasti diperjuangkan habis-habisan, karena itu pemilu memerlukan modal yang sangat besar baik materiil dan imateriil yang menggelontor untuk merebut pemenangan pemilu tersebut.
  • Pemilu legislatif biasanya cukup menguras kocek sang calon. Makanya tak heran jika pernah terjadi pada pemilu legislatif sebelumnya, banyak caleg yang kalah kolef, kalah mental sehingga melakukan hal-hal yang memalukan dan memilukan. Beberapa peristiwa yang berhasil di rekam media diantara mereka ada yang stres, ada yang sakit jiwa, ada yang melakukan hal-hal yang memalukan di masyarakat seperti mengambil kembali bantuan yang telah diberikan sebelumnya dan bahkan ada yang lebih parah lagi yaitu bunuh diri.
  • Bagi seorang Caleg incumbent, yang akan dinilai adalah apakah pada saat periode pertama ia jadi caleg, sangat aspiratif atau tidak, atau justru malah kecewa dengan kinerja caleg tersebut. 
  • Bagi yang baru kali pertama kali menjadi Caleg, tentu perlu melakukan langkah-langkah dan strategi untuk membentuk atau menghimpun pendukung (Tim Sukses) di kantong-kantong suara yang strategis dan potensial. Dan segera membangun perhatian agar kecenderungan orang simpatik lalu secara sukarela mau memilih dirinya.
  • Estimasi perhitungan berapa jumlah suara yang harus diraih untuk meraih kemenangan harus bisa diprediksi. Setelah itu gunakan segala macam teknik dan strategi untuk mendulang suara, dengan cara-cara yang santun dan beretika tentunya.
  • Semuanya adalah tentang jumlah suara, apapun strateginya adalah bagaimana masyarakat pemilih (yang memiliki hak pilih) mau memilih Caleg tersebut, dan ingatlah bahwa semua strategi adalah tentang cara mendapatkan jumlah suara.
  • Tidak usah munafik dengan mengatakan "tidak memilih saya pun tidak apa", bila Caleg mengatakan ini mungkin bila disimak secara mendalam sama dengan mengatakan, "mau pilih saya silahkan tidak juga tidak apa-apa", maka ini berarti Caleg tersebut mengatakan kepada masyarakat pemilih, "suara anda tidak penting buat saya", atau "Saya tidak butuh suara anda".
  • Sehingga lebih baik terus terang saja mengatakan dengan bahasa yang baik dan dengan penyampaian yang tepat bahwa Caleg tersebut berharap kepada msyarakat pemilih untuk memilih Caleg tersebut di pemilu legislatif.
  • Ingat, bahwa Caleg-Caleg  pesaing sangat banyak, dan sangat mungkin mereka mengerahkan segala cara agar menang pemilu. Membombardir uang, mungkin juga mengerahkan cara halus (Ghaib). Meskipun cara ghaib sepertinya tidak masuk akal, tapi realitanya anda bisa menemukan sendiri, setidaknya, Caleg tertentu datang ke orang pintar di suatu daerah tertentu untuk tujuan agar  dirinya menang.
  • Apatisme Masyarakat dalam politik seringkali hanya diartikan dalam tindakan personal dimasyarakat untuk tidak ikut serta dalam agenda politik parah ahlipun sering kali memberikan indikator apatisme hanya dari keikutsertaan masyarakat pada sebuah agenda politik.
  • Para pemilih yang di anggap apatis tersebut tetap datang ketempat pemungutan suara dan memilih, apatisme masyarakat juga sering kali di salah artikan sebagai golongan putih yang berati sekelompak masyarakat yang menolak untuk memilih, mengukap data golput dari tahun 2005 sampai tahun 2010 ditemukan angka golput secara rata mencapai 27,9% – 35,0% LSI menganggap golput sebagai gerakan sosial akan tetapi sebagai nonpartisan.
  • Kesalahan inteprensi ini terus berlangsung hingga saat ini. Masyarakat sering kali menghindari pertayaan pertayaan mengenai politik dan langsung menyebut politik itu buruk jahat dan korup agaknya ide ini tidak berkembang dengan sendirinya ide mengenai citra politik yang buruk ini di dapat masyarakat dari dari media massa baik dari media cetak maupun elektronik yang juga milik beberapa beberapa tokoh politik yang merangkap sebagai pengusaha, dan dalam masyarakat sering kali terlontar dictum “siapapun pemimpinnya tidak bisa merubah keadaan, masyarakat tetap sengsara (secara ekonomi), apatisme maupun golput sangat berbahaya bagi Negara demokratis karena akan mengarah pada krisis legitimasi kekuasaan.
  • Bahaya dari golput dan apatisme masyarakat adalah langgengnya status quo dan jatuhnya pemimpin Negara ke pada orang yang salah, apatisme masyarakat dalam pentas politik di Indonesia dengan berasumsi bahwa apatisme masyarakat secara struktural merupakan dampak dari alienasi politik.
  • Masyarakat memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada elit politik.
  • Faktor-faktor peyebab pemilih menjadi apatis; kerusahan yang terjadi di suatu daerah, kecewa kepada calon yang di anggap tidak sesuai dengan harapan, pola pikir masyarakat, elit politik yang selalu membodohi masyarakat, masyarakat memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas, rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap politik, tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap politik, dan buruknya imej parpol dan politik di mata masyarakat.
  • Banyak kalangan yang pesimis terhadap pemilu sehingga melahirkan gelombang apatisme terhadap pelaksanaan pemilu tersebut. Persis seperti yang dialami oleh masyarakat kita akhir-akhir ini ketika pemilihan umum semakin dekat. Hal ini memang sudah menjadi fenomena musiman menjelang pelaksanaan pemilu. Fenomena apatisme publik ini tak lepas dari pola perilaku elektoral rakyat Indonesia sendiri yang kerap kali terjebak dalam politik pragmatis. Politik pragmatis, tidak hanya menandai sikap sebagian rakyat, tapi justru menjadi ciri pula dari ego politisi partai ataupun kontestan pemilu yang mengejar jabatan lewat kemenangan dalam pemilu.
  • Kecenderungan pemilih di masyarakat belakangan telah banyak dijumpai sangat pragmatis, mereka akan mencoblos manakalah ada imbalan dan janji sesuai dengan kepentingan masyarakat.  Kecenderungan itu muncul bukan tanpa sebab, salah satunya karena prilaku wakil yang dipilih dalam perkembangannya sudah tidak mencerminkan kepentingan masyarakat.
  • Apatisme masyarakat terhadap politik memiliki dua aspek pendorong yaitu ketidakpercayaan publik terhadap elit politik atau politik secara umum dan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadapa politik.
  • Ketidakpercayaan publik (public distrust) dilatari oleh perilaku elit politik, lemahnya supremasi hukum, dan campur tangan media dalam pembentukan opini publik. Sedangkan dalam poin rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik, bahwa ketertarikan masyarakat terhadap politik dipengaruhi oleh citra politik di masyarakat yang dipengaruhi oleh public trust sebagai struktur referensial pada pemahaman masyarakat.
  • Citra politik secara umum yang berada pada pemahaman masyarakat adalah bahwa politik adalah permainan kotor yang berujung pada korupsi. Namun pada sisi lain ketertarikan masyarakat terhadap politik lantas berubah menjadi ketertarikan oportunistis terhadap peluang ekonomi yang akan membawa keuntungan pribadi. Hal ini antara lain disebabkan oleh tekanan ekonomi dan kesenjangan sosial.
  • Dapat disimpulkan bahwa jika masyarakat mau menginternalisasi politik kedalam dirinya dan eksistensinya sebagai masyarakat tentunya masyarakat pun akanmenyadari bahwa politik merupakan sebuah produk sosial yang mereka ciptakan melalui upaya-upaya yang mereka lakukan untuk membentuk identitas kebangsaan ataupun komunitas politiknya. Namun pada kenyataannya masyarakat terasing dari produksi sosialnya sendiri bahkan politik menjadi hal yang bukan hanya terpisah dari masyarakat namun sekaligus berkonfrontasi dengan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan masyarakat bahkan berpotensi merugikan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar